Selasa, 24 Maret 2009

Mendengar....betapa sulitnya..ya

Kebanyakan orang...lebih suka bicara dibanding mendengarkan. berbicara memang lebih memuaskan karena kita bisa melepaskan sesuatu yang sering nangkring di otak kita. sedang mendengar adalah pekerjaan yang menuntut kita pasif...konsentrasi...diam....menatap yang berbicara...dan harus sabar dari keinginan kita menyela bila setuju atau tidak setuju apa yang dibicarakan lawan bicara.

Mendengarkan....adalah pekerjaan yang sangat sulit dan perlu dilatih. tanpa latihan maka menjadi pendengar yang baik sangat sulit.

Berbicara akan memunculkan rasa...penting seseorang karena mengungkapkan ekspresi, harga diri, dan perasaan seseorang.

saat kita mampu mendengarkan, maka diri kita akan lebih mampu memandang segala sesuatu lebih luas dan bijaksana. dengan mendengarkan kita bisa tau keseluruhan maksud dan apa yang melatarbelakangi seseorang membicarakan sesuatu.

Terkadang seseorang berbicara hanya membutuhkan untuk didengarkan tanpa menginginkan umpan balik. terkadang juga ingin mendapat tanggapan/pendapat, terkadang juga menginginkan masukan yang lebih banyak dari orang yang mendengarkan.

Dengan menjadi pendengar yang baik, kita akan disenangi banyak orang.

selamat mendengarkan...

Sabtu, 14 Maret 2009

Caleg, Pertaruhan Hidup dan Mati

Sebentar lagi pemilihan Caleg akan diselenggarakan di seluruh penjuru Indonesia. Saat ini disetiap sisi kota dihiasi gambar para caleg dan slogan-slogan (janji kapanye) untuk menarik simpati para pemilih. Kampanye juga sebentar lagi terjadi. berarti pengerahan massa juga akan menjadi pemandangan umum di mata masyarakat.

Perubahan pada pemilu kali ini dibanding pemilu sebelumnya adalah ditetapkannya oleh Makamah Konstitusi bahwa Caleg yang akan duduk di kursi dewan adalah mereka yang memperoleh suara yang terbanyak. bukan lagi ditentukan oleh nomor urut. perubahan ini akan sangat mendasar akibatnya terhadap biaya pencaleg-an seseorang.

PERLU BIAYA BESAR
Kalau sebelumnya para caleg tidak perlu terlalu pusing karena biaya kampanye ditanggung oleh partai, maka sekarang para caleg harus siap-siap mempersiapkan dana besar untuk memperkenalkan dirinya didepan konstituennya. sebagian besar para caleg belum dikenal oleh masyarakat didaerah pemilihannya. maka untuk membuat agar dikenal biaya besarpun harus siap dikeluarkan.
sebagai gambaran saja, kita mungkin sering menyaksikan pemilihan langsung kepala desa. meskipun selalu digembar-gemborkan agar pemilihan menghindari politik uang namun kenyataan dilapangan hampir setiap calon pasti mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Mulai biaya atribut kampanye, biaya pengerahan massa, biaya reklame dimedia massa, biaya menjamu para konstituen (biaya ini akan dikeluarkan saat para caleg menyatakan mencalonkan diri sampai pemilihan terjadi). semua biaya ini akan dikeluarkan secara pribadi oleh para caleg.
saya tidak bisa membayangkan, kalau biaya untuk pencalonan kepala desa saja yang jumlah konstituennya mungkin sekitar ribuan orang saja bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juga rupiah. berapa biaya yang dikeluarkan oleh para caleg DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR dengan jumlah kontituen lebih dari ratusan ribu atau bahkan jutaan?

HIDUP ATAU MATI
kalau seorang calon kepala desa, untuk membiayai pencalonannya bisa menguras seluruh tabungannya, menjual assetnya seperti rumah, sawah dan lainnya, bahkan berhutang sana-sini dengan janji kalau menang akan dikembalikan dengan bunganya. Dari sini terlihat, secara finansial maka calon pada saat mencalonkan diri dalam kondisi ini sangat rawan / titik kritis. apabila dia menang, maka selamatlah dia (hidup). ada kesempatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. bila sabar dan orangnya jujur maka dia akan menerima kompensasi sebagai kepala desa sesuai haknya. namun kebanyakan karena begitu banyak modal telah dikeluarkan dalam waktu singkat, maka tidak ada jalan lain dalam waktu singkat juga dia harus mengembalikan harta dan hutangnya. tidak ada jalan lain yang cepat kecuali korupsi.

Namun jika calon tersebut kalah, maka habislah dia(mati). semua hartanya ludes dan para penagih hutang siap mendatanginya setiap saat. maka dalam kondisi ini, tekanan ekonomi dan kejiwaan akan dirasakan.

Saya tidak membayangkan apabila saat ini kondisi caleg-caleg kita persis seperti kondisi pencalonan kepala desa tersebut. maka dapat dipastikan, pasca pemilu akan banyak orang stress /mengalami gangguan jiwa (untuk yang kalah) dan juga banyak para koruptor baru yang siap makan apa yang sebenarnya menjadi hak masyarakat. (untuk yang menang/ terpilih).

Bagi para caleg, maka saat ini adalah saat dimana anda dalam posisi kritis. masa pertaruhan hidup dan mati anda kedepan. saran saya, para caleg supaya sadar dengan kemampuan ekonomi dan kekuatannya dalam menyikapi pencalonan caleg kali ini. buatlah neraca agar kondisi keuangan tetap diusahakan positip agar anda dapat meneruskan kehidupan anda dimasa mendatang. jangan jor-joran dalam mencari/menumpuk hutang hanya demi mengejar kursi dewan. Juga jangan terpancing dengan janji-janji tim pemenangan pemilu anda bahwa dengan menggelontorkan dana untuk program kampanye di suatu daerah anda akan memperoleh suara sekian persen dari yang dibutuhkan. calon yang bijak adalah yang mengenal kemampuan diri sendiri.

Gotong Royong, Dimanakah engkau sekarang?

Dulu, ketika aku masih kecil dan tinggal disebuah kampung yang jauh dari kota. bahkan dapat dikatakan desaku termasuk sangat terisolasi terletak disebuah desa yang bernama Purwokerto sekitar 28 km dari kota Pati Jawa tengah, nilai-nilai gotong royong diantara warga desa sangatlah menonjol. kebersamaan dan gotong royong hampir disemua segi kehidupan. mulai dari membangun rumah, memanen hasil pertanian, membangun jalan, saat warga mengadakan pesta perkawinan, dan lainnya. membangun rumah misalnya, pada hari H pendirian rumah, semua warga terutama laki-laki wakil tiap rumah berkumpul dan bergotong royong mendirikan rumah tanpa bayaran sama sekali. saat memanen hasil pertanian, para wanita bergotong royong secara bergantian membantu memanen hasil pertanian. dan semuanya dilakukan dengan sukarela dan bergotong royong....semuanya itu terjadi saat desaku masih terisolasi. belum ada listrik dan jalanpun belum beraspal. sarana transportasi harus dilalui dg jalan kaki. untuk ke kota kecamatan saja, harus ditempuh jalan kaki sekitar 6 km melalui jalan setapak dan harus melewati hutan lebat. kemudian dilanjutkan naik dokar sekitar 5 km baru sampai kecamatan.
saat itu orang desa hidup secara sederhana, aman dan tentram. anak-anak perempuan setelah lulus SD langsung dikawinkan oleh orang tua masing-masing. anak laki-laki biasanya hidup sebagai penggembala ternak ataupun bertani. hanya sedikit sekali anak-anak yang meneruskan sekolah hingga ke SMP. aku termasuk beruntung karena bisa sekolah SMP yang saat itu satu desaku cuma ada sekitar 3 anak. Tiap hari aku sekolah bersama teman-temanku. berangkat pukul 05.00 pagi.

Para ibu menjual hasil pertanian/kebun kepada para tengkulak yang memang setiap hari datang dengan jalan kaki dari kota kecamatan. pasarpun hanya beberapa saja orang yang datang.

Sekitar 1997, listrik mulai masuk desaku. jalan pun sudah mulai mulus dengan aspal kualitas murah. transportasi mulai lancar. orang banyak berpergian ke kota. sepeda motorpun mulai bersliweran dijalan-jalan desa. pikiran orang desaku mulai berubah. banyak pemuda yang mulai pergi merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta maupun sumatra. saat mereka pulang banyak membawa cerita yang menarik dan keberhasilan merubah hidup. orang mulai berubah. mereka mulai suka beli baju, beli perabot rumah yang bagus-bagus, dll. orang mulai memikirkan kebutuhan mereka sendiri-sendiri.

aku mulai jarang menjumpai orang bergotong royong mendirikan rumah. sebelumnya mereka membuat rumah dari kayu berubah membuat rumah dari tembok sehingga tidak perlu orang banyak namun benar-benar tergantung sama para tukang yang hanya butuh 4 orang. orang-orang mulai mengejar pekerjaan yang setiap hari menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin meningkat karena perubahan gaya hidup. sekarang aku banyak jumpai saat ada orang yang meminta tolong ...yang dimintai tolong terkadang lebih memilih bekerja yang mendapat bayaran daripada membantu tetangga yang hanya meminta tolong. akhirnya mereka hidup secara individualistik. sementara para pemuda yang merantau saat pulang mereka memamerkan gaya hidup modern. Hal ini menambah semangat individualis para pemuda. bila mereka mampu membangun rumah dari tembok, lantai keramik mereka merasa menjadi orang kaya dan akan dianggap berhasil oleh para tetangga.

Gotong royong yang dulu setiap hari aku lihat dan rasakan sekarang nyaris sangat jarang aku melihatnya. orang desa yang hidup sederhana dan pola pikir sederhana mulai sirna dari pandanganku. begitulah kehidupan sekarang. gotong royong sirna digantikan sikap hidup individualis dan kapitalis.